A.
KETENTUAN
HUKUM ISLAM
1.
Pengertian
dan Hukum Pernikahan
§ Pengertian
Arti
Nikah Menurut bahasa: berkumpul atau menindas. Adapun menurut istilah Ahli
Ushul, Nikah menurut arti aslinya ialah
aqad, yang dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan, sedangkan menurut arti
majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul golongan Syafi’iyah. Adapun
menurut Ulama
Fiqih, Nikah
ialah
aqad yang di atur oleh
Islam
untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap faraj
(kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.
§ Hukum Pernikahan
Hukum
nikah menurut asalnya (taklifiyah) adalah mubah. Yakni tidak mendapat
pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa bagi orang
yang meninggalkan.
Nikah
menurut majasi (wadl’iyah) ada empat kemungkinan:
1. Kemungkinan
bisa menjadi Sunnah bila Nikah menjadikan sebab ketengan dalam
beribadah.
Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan tidak mendapat ancaman siksa
bagi orang yang meninggalkan.
2. Kemungkinan
bisa menjadi wajib bila Nikah menghindarkan dari perbuatan zina
dan
dapat meningkatkan
amal
ibadah wajib. Mendapat pahala bagi orang yang mengerjakan dan mendapat
ancaman siksa bagi orang yang meninggalkan.
3. Kemungkinan
bisa menjadi
haram
bila nikah yakin akan menimbulkan kerusakan.
Mendapat
ancaman siksa bagi orang yang mengerjakan dan dan mendapat pahala bagi orang
yang meninggalkan.
4. Kemungkinan
bisa menjadi makruh karena berlainan kufu. Mendapat pahala bagi
orang
yang meninggalkan dan tidak mendapat ancaman bagi orang yang mengerjakan.
Sedangkan
secara umum, hukum menikah
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain :
1.
Wajib, yaitu bagi orang yang telah mampu member
nafkah lahir dan batin serta
memenuhi
kewajiban-kewajiban lainnya, dan takut jatuh dalam perbuatan zina.
2.
Sunah, yaitu bagi orang yang sudah mampu
memeberi nafkah lahir dan batin serta
memenuhi
kewajiban-kewajiba lainnya, namun masih mampu untuk menundanya.
3.
Haram, yaitu bagi orang yang bermaksud menyakiti
calon istri dan atau ingin
melampiaskan
dendamnya.
4.
Makruh, yaitu bagi orang yang berkeinginan
tetapi belum mampu memeberi nafkah
dan
memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya.
5.
Jaiz, mubah(boleh), yaitu menurut asal hukumnya.
Artinya setiap orang telah
memenuhi
syarat-syarat tertentu boleh menikah dengan calon pasangannya.
2.
Tujuan
Pernikahan
Tujuan pernikahan menurut Islam yang sebenarnya adalah
sebagai berikut:
1.Menjauhkan diri dari zina
Allah Taala telah
mentakdirkan bahwa lelaki
ada
nafsu/keinginan kepada perempuan.
Perempuan
juga ada nafsu dengan lelaki.
Hakikat
ini tidak dapat ditolak. Kita tidak
dapat
lari dari dorongan alamiah itu. Oleh
karena
itu untuk menyelamatkan keadaan
maka
tujuan kita menikah agar jangan sampai
kita
melakukan zina yang terkutuk. Mestilah kita menikah agar ia tersalur secara
yang halal yang memang dibenarkan oleh Allah Taala yang Maha Pengasih.
2. Mendapatkan keturunan
Daripada hubungan suami isteri itu, adalah sebagai sebab
pertemuan benih kedua jenis
manusia
yang akan melahirkan zuriat (keturunan), anak-anak, cucu-cucu yang ingin
sangat
kita jaga, asuh, didik, diberi iman dan ilmu, agar menjadi hamba-hamba Allah
yang
berakhlak dan bertaqwa. Yang akan menyambung perjuangan Islam kita agar
perjuangan
Islam kita bersambung selepas kita mati. Memang setiap umat Islam yang
belum
rusak jiwanya sangat menginginkan generasi penerusnya.
3. Mendapatkan tenaga untuk kemajuan Islam
Dari keturunan yang
kita dapatkan dari pernikahan, kita inginkan anak yang akan kita
didik
menjadi seorang Islam yang sejati dan anak itu adalah merupakan aset kepada
kita.
Anak itu sendiri pula boleh menjadi harta dan tenaga kepada Islam.
4. Aset simpanan di akhirat
Dengan pernikahan
itu, jika tujuan kita mendapat anak berhasil, dan berhasil pula
dididik
dengan Islam dan menjadi seorang muslim yang berguna, kemudian dia akan
melahirkan
cucu yang juga berjaya dididik secara Islam dengan sebaik-baiknya, berapa
banyak
pahala yang kita dapat sambung-menyambung. Itu adalah merupakan aset
simpanan
kita di Akhirat kelak.
Sabda
Rasulullah SAW:
Maksudnya: Apabila meninggalnya anak Adam maka terputuslah
segala amalannya kecuali tiga perkara yaitu doa anak yang soleh, sedekah jariah
dan ilmu yang bermanfaat. (Riwayat Muslim)
5. Mewujudkan suatu masyarakat Islam
Alangkah indahnya kalau Islam yang maha indah itu dapat
menjadi budaya hidup sebagaimana yang pernah mengisi ruangan dunia ini di masa
yang silam, selama tiga abad dari sejak Rasulullah SAW. Sekarang keadaan itu
tinggal nostalgia saja. Yang tinggal pada hari ini hanya akidah dan ibadah. Itu
pun tidak semua umat Islam mengerjakannya. Kita sangat ingin keindahan Islam
itu dapat diwujudkan. Di dalam suasana keluarga pun jadilah, karena hari ini,
hendak buat lebih dari itu memang amat sulit sekali. Lantaran itulah pernikahan
itu amat perlu sekali karena hendak melahirkan masyarakat Islam kecil.
Moga-moga dari situ akan muncul masyarakat Islam yang lebih besar.
6. Menghibur hati Rasulullah SAW
Seorang muslim bukan saja diperintah untuk mencari keredhaan
Allah Taala tetapi diperintah juga untuk menghibur hati kekasih Allah Taala
yaitu Rasulullah SAW, yang mana Rasulullah SAW sangat berbangga dengan ramainya
pengikut atau umatnya di Akhirat kelak. Maka sebab itulah Rasulullah SAW
menyuruh umatnya menikah.
Maksudnya: Bernikahlah kamu supaya kamu berketurunan dan supaya kamu menjadi
banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan umatku yang ramai di hari
Kiamat. (Riwayat Al Baihaqi)
Setiap umat Islam hendaknya apa yang menjadi kesukaan
Rasul-Nya itulah juga kesukaan mereka.
7. Menambah jumlah umat Islam
Kalaulah Rasulullah SAW berbangga dan bergembira dengan
banyaknya umat, maka kita sepatutnya juga berbangga dengan ramainya umat Islam
di dunia ini. Maka untuk memperbanyakkannya, lantaran itulah kita menikah. Jadi
kita menikah itu ada bermotifkan untuk menambah jumlah umat Islam. Ada
cita-cita Islam sejagat. Kita menikah itu ada cita-cita besar, bukan sekadar
sebatas hendak melepaskan nafsu seks seperti cita-cita kebanyakan manusia.
8. Menyambung zuriat/keturunan
Menikah itu jangan sampai putus zuriat karena kita berbangga
dapat menyambung zuriat yang menerima Islam sebagai agamanya dan dengan
keturunan itulah orang kenal siapa asal-usul kita atau mereka.
9. Menghibur hamba Allah
Tujuan-tujuan lain sebagai maksud tambahan daripada
pernikahan bahwa setiap lelaki dan perempuan yang menjadi pasangan suami isteri
hendaklah meniatkan satu sama lain hendak memberi hiburan kepada seorang hamba
Allah Ta'ala yang inginkan hiburan, karena niat menghiburkan orang mukmin itu
mendapat pahala.
3.
Dalil-dalil
tentang Pernikahan
Dalam
Al Qur’an diterangkan mengenai pernikahan yaitu sebagai berikut.
1.
Dalam Surah An Nuur Ayat 32
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,
dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha
Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).
2. Dalam Surah Adz
Dzariyaat Ayat 49
“Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.”
(QS. Adz Dzariyaat (51) : 49).
3. Dalam Surah Yaa Siin
Ayat 36
¨Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui¡¨ (Qs. Yaa Siin (36) : 36).
4.
Dalam Surah An Nahl Ayat 36
Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan
(istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu
Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan
rezeki yang baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72).
5.
Dalam
Surah Ar. Ruum
Ayat 21
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
6. Dalam Surah At Taubah Ayat 71
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
Selain itu terdapat beberapa hadist dan ayat-ayat lain dalam
Al Qur’an yang berisi tentang akad pernikahan umat muslim.
4.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Rukun dan Syarat-Syarat Sah Perkawinan/Pernikahan, antara
lain :
1. Mempelai Laki-Laki
/ Pria
-
Agama Islam
-
Tidak dalam paksaan
-
Pria / laki-laki normal
-
Tidak punya empat atau lebih istri
-
Tidak dalam ibadah ihram haji atau
umroh
-
Bukan mahram calon istri
- Yakin bahwa calon istri halal untuk
dinikahi
- Cakap hukum dan
layak berumah tangga
- Tidak ada
halangan perkawinan
- Umur atau usia
minimal untuk menikah untuk pria/laki-laki berusia 19 tahun
2. Mempelai Perempuan
/ Wanita
-
Beragama Islam
-
Wanita / perempuan normal (bukan
bencong/lesbian)
-
Bukan mahram calon suami
-
Mengizinkan wali untuk menikahkannya
-
Tidak dalam masa iddah
-
Tidak sedang bersuami
-
Belum pernah li'an
-
Tidak dalam ibadah ihram haji atau
umrah
- Untuk wanita/perempuan berumur paling tidak
16 tahun
3. Syarat Wali
Mempelai Perempuan
- Pria beragama
islam
- Tidak ada
halangan atas perwaliannya
- Punya hak atas
perwaliannya
4.
Syarat Bebas Halangan Perkawinan Bagi
Kedua Mempelai
- Tidak ada
hubungan darah terdekat (nasab)
- Tidak ada hubungan
persusuan (radla'ah)
- Tidak ada
hubungan persemendaan (mushaharah)
- Tidak Li'an
- Si pria punya
istri kurang dari 4 orang dan dapat izin istrinya
- Tidak dalam
ihram haji atau umrah
- Tidak berbeda
agama
- Tidak talak
ba'in kubra
- Tidak permaduan
- Si wanita tidak
dalam masa iddah
- Si wanita tidak
punya suami
5. Dua orang saksi
Syarat-Syarat Syah Bagi Saksi Pernikahan/Perkawinan
- Pria / Laki-Laki
- Berjumlah dua
orang
- Sudah dewasa /
baligh
- Mengerti maksud
dari akad nikah
- Hadir langsung
pada acara akad nikah
6. Ijab Kabul
Ijab
adalah ucapan wali(dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada
mempelai pria. Sedangakan Kabul adalah ucapan pria sebagai tanda penerimaan.
Suami wajib memberikan maskawin(mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat
nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunah. Mahar atau
maskawin, yaitu suatu pemberian oleh mempelai priakepada mempelai wanita yang
diserahkan saat akad nikah berlangsung. Mahar bias berupa benda apa saja.
5.
Muhrim
Muhrim adalah orang yang tidak boleh
dinikahi atau dikawini karena masih ada pertalian darah yang amat dekat.
Ada 3 macam muhrim :
1.
Muhrim sebab keturunan
§ Ibu dari bapak atau dari ibu, dst
§ Anak, cucu, dan seterusnya ke bawah
§ Saudara perempuan seibu dan sebapak
§ Saudara perempuan sebapak atau seibu saja
§ Adik perempuan saudara laki-laki atau perempuan
2.
Muhrim sebab persusunan
§ Ibu dan bapak yang pernah menyusui
§ Saudara perempuan dari anak ibu yang menyusui
3.
Muhrim sebab perkawinan
§ Ibu mertua
§ Anak tiri yang ibunya sudah digauli atau disetubuhi
§ Menantu perempuan
§ Ibu tiri (istri bapak)
§ Adik perempuan istri
6.
Kewajiban
dan Hak Suami Istri
Sesuatu yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan oleh suami istri,hak adalah sesuatu yang harus diperoleh dan
diterima oleh suami dan istri .
a.
Kewajiban
Suami atau Hak Istri
1)Memimpin memelihara dan membimbing
keluarganya
2)Memberi nafkah lahirbatin sesuai dengan
kemampuan dan keperluan rumahtangga (sandang,pangan,dan tempat tinggal)
3)Membantu tugas-tugas istri terutama
dalam hal mendidik dan memelihara anak
4)Memberi kebebasan berfikir,bertindak
kepada istri sepanjang sesuai dengan ajaran agama islam
5) Dapat mengatasi keadaan,mencari
penyelesaian scr bijak sana dan tidak berbuat semena-mena
b.
Kewajiban Istri atau Hak Suami
1)
Melayani suami lahir batin dengan penuh
bertanggung jawab
2)
Mengatur dan menata suasana rumah tangga
3)
Merawat dan memelihara anak2 serta
mendidiknya dengan penuh kasih sayang
4)
Menghormati dan menerima pemberian suami
walaupun sedikit
5)
Bersikap lemah lembut dan tidak bermuka
masam
6)
Jika suami sedang khilaf hendaknya diperingatkan dengan
baik-baik
7)
Bila sudah mempunyai anak jangandjadikan
sebagai alasan untuk mengabaikan suami
8)
Jika suami sedang khilaf berbuat salah
hendaknya diperingatkan dengan cara dan waktu yang baik dan cepat
7.
Hikmah
Perkawinan
a. Perkawinan
merupakan jalan keluar yang paling baik untuk memenuhi kebutuhan seksual
b.Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk memuliakan anak,memperbanyak keturunan , melestarikan hidup
manusia serta mamalihara anak
c.Perkawinan menimbulkan naluri kabapakan dan keibukan
yang menumbuhkan pula perasaan cinta dan kasih sayang
d.Perkawinan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam bekerja karena adanya rasa tanggung awab keluarga
e.Perkawinan
akan mempererat tali kekeluargaan yang dilandasi rasa saling menyayangi sebagai
modal kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera
B.
HUKUM
ISLAM TENTANG TALAK (PERCERAIAN)
1.
Pengertian
dan Hukum Talak
Menurut
bahasa, talak artunya melepaskan ikatan. Dalam kaitannya dengan pernikahan,
talak adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan menggunakan
lfal tlk atau perkataan lain yang maknanya senada dengan maksud talak. Hokum
talak adalah mmakruh (sesuatu yang dibernci atau tidak disenangi) karena talak
merupakan perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT.
Seperti sabda Rasulullah SAW yang
artinya :
“Perbuatan
yang halal, tetapi paling dibenci Allah ialah talak.” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Namun, menurut mazhab Hambali hokum
talak dapat berubah menjadi wajib, haram, sunah, dan mubah(boleh).
a.
Talak
wajib, yaitu talak yang dijatuhkan manakala suami istri yang berselisih tidak
dapat
didamaikan lagi oleh majelis hakum dan kedua pihak memandang perceraian
merupakan jalan trbaik untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Maka hakim
Pengadilan Agama wajib menyetujui jatuhnya talak.
b.
Talak
haram, yaitu talak yang dijatuhkan tanpa ada alas an yang jelas dan dapat
dibenarkan
menurut syarak. Talak yang demikian itu haram dijatuhkan karena hanya akan
merugikan bagi kedua belah pihak, baik pihak suami, isri maupun anak – anak,
bagi yang telah mempunyai anak.
c.
Talak
sunah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri – istrinya yang telah melampaui
batas
melanggar hukum – hukum Allah SWT, akhlaknya sudah tidak bias diperbaiki dan
sudah tidak mampu menjaga harga diri dan kehormatannya.
d.
Talak
mubah (boleh), yaitu talak yang dijatuhkan jika diperlukan.
2.
Syarat
dan Rukun Talak
Talak
dapat dijatuhkan manakala telah terpenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
a.
Islam,
suami istri beragama islam dan melakukan akad nikah secara islam
b.
Baligh,
suami sudah dewasa
c.
Berakal
sehat, suami tidak sedang mabuk, tidak marah, tiak terpaksa, tidak sedang
sakit keras,
tidak gila atau ayan , dan tidak karena keliru.
d.
Merdeka,
suami bukan hamba sahaya, tidak sedang ditahan atau dipenjara
e.
Istri
sedang dalam iddah dari talak raj’I maupun talak ba’in surga
Adapun
rukun talak, yaitu :
a.
Niat
atau ‘azam
b.
Lafal
atau kata – kata yang menegaskan adanya talak
Talak
dapat jatuh kepada istri, jika suami sengaja berniat untuk menceraikan
istrinya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, riwayat dari Umu Suler yang artinya
:
“Bahwasanya
talak itu menurut niatnya.” (H.R. Nasa’i)
3.
Lafal
Talak
Ada
dua macam kalimat yang digunakan dalam perceraian, yaitu :
a.
Sharih
Sharih
adalah kalimat yang terang, tidak ragu – ragu menyatakan secara jelas maksud
memutuskan ikatan nikah. Misalnya, suami berkata, “saya ceraikan kamu.” Kalimat
tersebut baik diniatkan untuk mencerai atau tidak telah menyebabkan jatuh satu
talak, kecuali jika kalimat tersebut dimaksudkan sebagai sindiran
b.
Kinayah (sindiran)
Kinayah
yaitu kalimat yang masih ragu – ragu sehingga dapat diartikan ganda. Misalnya
suami berkata, “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu.” Kalimat tersebut jika
tidak diniatkan menjatuhkan talak, tidak menyebabkan talak jatuh, namun jika
diniatkan akan menyebabkan jatuh satu talak.
4.
Bilangan
Talak
Talak
hanya dapat diberikan hingga tiga kali. Pada talak pertama dan kedua, suami
isri masih diperkenankan rujuk kembali selama masih dalam masa iddah
(menunggu). Tetapi bila masa iddahnya sudah selesai, keduanya menikah kembali.
Seperti
firman Allah SWT, sebagai berikut :
ٱلطَّلَـٰقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَـٰنٍ۬ۗ
Artinya
:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
5.
Macam-macam
Talak
a.
Talak Raj’i
Talak
Raj’i yaitu talak yang diucapkan suami kepada istrinya dalam bentuk sindiran.
Talak Raj’i terbagi menjadi dua, yaitu :
1.
Talak
kinayah adalah talak yang diucapkan suami kepada istrinya dalam bentuk
sindiran.
2.
Talak
sharih atau talak nyata adalah talak yang dijatuhkan seorang suami kepada
istrinya
dengan lafal ucapan yang jelas bermakna perceraian. Talak sharih tidak
berdasarkan niat. Ketika talak sharih terucap maka jatuhlah talak itu, meskipun
sebenarnya hanya diniatkan sebagai canda.
b.
Talak Ba’in
Talak
Ba’in yaitu talak dari seorang suami kepada istrinya yang mengharuskan mereka
untuk melakukan akad nikah lagi jika ingin rujuk. Talak ini terbagi menjadi
dua, diantaranya :
1.
Talak
Ba’in sugra(kecil) adalah talak tebus (khulu’) dan menalak istri yang belum
dicampuri.
2.
Talak
Ba’in kubra adalah talak tiga, yaitu talak yang sudah dijatuhkan seorang
suami kepada
istrinya sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda.
c.
Talak Al-batah
Talak
Al-batah yaitu talak dari suami kepada istrinya yang berlaku untuk
selama-lamanya dan tidak akan rujuk kembali.
d.
Talak Mujaz
Talak
Mujaz yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri dan tidak ada penangguhan
atasnya.
e.
Talak Mu’allaq
Talak
Mu’allaq yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya tergantung pada
suatu perbuatan yang telah dilakukan istrinya di waktu yang akan datang.
6.
Hal-hal
yang Dapat Mengakibatkan Perceraian
Hal-hal
yang dapat mengakibatkan perceraian :
a. Nusyuz
Nusyuz : perbuatan seorang istri yang
melanggar hak-hak suaminya.
Misal, seorang istri yang biasanya
selalu bersikap baik dengan suaminya, kemudian tiba-tiba meninggalkan rumah
tanpa izin suaminya, padahal suaminya masih menjaga hak-hak istrinya, maka
suami hendaknya menasihatinya.
b. Khulu’
Menurut bahasa, Khulu’ : melepaskan,
menanggalkan, atau mencabut.
Menurut istilah syara’, Khulu’ :
ungkapan yang digunakan dalam suatu perpisahan
suami istri yang menuntut adanya
penggantian bagi suami, karena kehendak istri.
Dalam khulu’ dibolehkan mengembalikan
sebesar mahar, separuhnya atau dengan barang lain yang lebih sedikit dari mahar
atau lebih banyak dari mahar, maka diperbolehkan juga digunakan sebagai
pengganti dalam khulu’.
c. Ila’
Ila’ berarti sumpah suami yang
mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih,
atau dalam masa yang ditentukan.
Jika sebelum 4 bulan ia kembali pada
istrinya dengan baik, maka ia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat). Akan
tetapi, jika 4 bulan ia tidak kembali kembali pada istrinya, maka hakim berhak
menyuruhnya untuk memilih diantara 2 hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan
membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia
menentukan pilihannya, hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya
dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
d. Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh
istrinya berbuat zina, dimana tuduhan tersebut harus dikuatkan dengan empat
orang saksi yang melihat istrinya berbuat zina dan bersumpah di depan hakim.
Sumpah tersebut dilakukan sebanyak 4
kali dan ditambah dengan ucapan “Laknat Allah atas diriku jika tuduhanku itu
dusta”. Jika suami telah menjatuhkan li’an, maka istrinya harus dihukum rajam
sampai mati.
Jika istri merasa tidak berzina, ia bisa
menghindari rajam dengan menolak tuduhan dan bersumpah di depan hakim sebanyak
4 kali dan ditambah dengan ucapan “Laknat Allah atas diriku apabila tuduhan itu
benar”.
Jika terjadi sumpah li’an dari kedua
pihak, maka mereka tidak boleh rujuk selamanya, bahkan jika setelah itu istri
tersebut hamil, maka anak yang dikandung tidak boleh diakui sebagai anak dari
suaminya.
e. Zihar
Zihar adalah ucapan suami yang
menyamakan istrinya dengan ibunya.
Apabila suami telah mengucapkan zihar
dan tidak dilanjutkan dengan menalak istrinya, maka suami wajib membayar
kafarat. Sebelum kafarat itu dibayar, maka suami haram meniduri istrinya.
7.
Iddah
Iddah
: masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dari suaminya
untuk
dibolehkan
menikah kembali dengan laki-laki lain.
Tujuan
Iddah : Untuk melihat perkembangan apakah istri yang dicerai itu hamil atau
tidak. Kalau ternyata hamil, maka anak yang
dikandungnya berarti anak
suami yang baru saja bercerai dengannya.
Bagi suami yang mempunyai hak rujuk, masa
iddah merupakan masa
untuk berpikir ulang, apakah ia akan kembali
(rujuk) pada istriya atau
mau meneruskan perceraiannya.
Macam-macam
Iddah :
a. Iddah
Hamil
Bagi wanita hamil yang diceraikan oleh
suaminya, masa iddahnya sampai melahirkan anak yang dikandungnya itu, baik
cerai mati maupun cerai hidup.
…ۚ حَمْلَهُنَّ يَضَعْنَ أَن أَجَلُهُنَّ الْأَحْمَالِ
وَأُولَاتُ…
Artinya :
“... Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai melahirkan kandungannya... ” (Q.S. Ath-Thaalaq / 65 : 4)
b. Iddah
Cerai Mati
1) Bagi
wanita yang ditinggal mati suaminya, dan ia tidak sedang hamil, maka iddahnya 4
bulan sepuluh hari.
أَرْبَعَةَ بِأَنفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ أَزْوَاجًا
وَيَذَرُونَ مِنكُمْ يُتَوَفَّوْنَ وَالَّذِين
…ۖ أَوَعَشْرًا شْهُرٍ
Artinya :
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan
sepuluh hari... ” (Q.S.
Al-Baqarah / 2 : 234)
2) Bagi
wanita yang ditinggal mati oleh suaminya, dan ia sedang hamil maka iddahnya
sebagaimana iddah hamil, yaitu sampai melahirkan anak yang dikandungnya.
c. Iddah
Cerai Hidup
1) Bagi
wanita yang dicerai hidup oleh suaminya, dan ia masih haid, iddahnya tiga kali
suci.
…ۚ قُرُوءٍ ثَلَاثَةَ
بِأَنفُسِهِنَّ يَتَرَبَّصْنَ قَاتُوَالْمُطَلَّ
Artinya :
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri
mereka (menunggu) tiga kali quru’... ” (Q.S. Al-Baqarah / 2 : 228)
2) Jika
perempuan yang dicerai hidup tersebut belum atau sudah tidak haid (menopause)
atau masih di bawah umur maka iddahnya tiga bulan.
أَشْهُرٍ ثَلَاثَةُ فَعِدَّتُهُنَّ ارْتَبْتُمْ إِنِ نِّسَائِكُمْ مِن الْمَحِيضِ مِنَ يَئِسْنَ وَاللَّائِي
…ۚيَحِضْنَ لَمْ وَاللَّائِي
Artinya :
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause) di antara istri-istrimu
jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga
bulan,
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid... ” (Q.S. Ath-
Thaalaq / 65 : 4)
Selama
masa iddah, suami masih berkewajiban member nafkah lahir kepada mantan istrinya
tersebut
dengan ketentuan :
a. Suami
memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal bagi istri yang dalam keadaan talak
raj’i.
. جْعَةُالرَّ عَلَيْهَا لِزَوْجِهَا إِذَاكَانَ لِلْمَرْأَةِ لسُّكْنَى وَا النَّفَقَةُ إِنَّمَا
Artinya :
“Perempuan yang berhak menerima nafkah dan tempat tinggal
dari suaminya, hanyalah apabila suaminya itu berhak rujuk padanya”. (H.R. An-Nasa’i dari Fatimah binti Qais)
b. Suami
memberi tempat tinggal bagi istri yang talak ba’in, talak tebus, dan tidak
hamil.
... وُجْدِكُم مِّن سَكَنتُم حَيْثُ
مِنْ أَسْكِنُوهُنَّ
Artinya :
“Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...
” (Q.S. Ath-Thaalaq / 65 : 6)
c. Suami
memberikan makan, pakaian, dan tempat tinggal bagi istri yang talak ba’in dan
talak tebus (khulu’) apabila hamil.
... ۚ حَمْلَهُنَّ
يَضَعْنَ حَتَّىٰ عَلَيْهِنَّ فَأَنفِقُوحَمْلٍ أُولَاتِ كُنَّ وَإِن ...
Artinya :
“... Dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan
kandungannya ...” (Q.S.
Ath-Thaalaq / 65 : 6)
8.
Hikmah
Talak
a. Menghindari
kemudharatan dan penderitaan
b. Melestarikan
tali silaturahmi
c. Memberikan
kedamaian lahir dan batin
d. Memungkinkan
untuk ishilah (berdamai)
e. Berpisah
dengan baik-baik
C.
HUKUM
ISLAM TENTANG RUJUK
1.
Pengertian
dan Hukum Rujuk
a) Pengertian Rujuk
Menurut bahasa Arab, kata ruju’
berasal dari kata raja’ a-yarji’ u-rujk’an yang berarti kembali, dan
mengembalikan. Sedangkan secara terminology, ruju’ artinya kembalinya seorang
suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan dalam masa
‘iddah.
Firman ALLAH SWT
•
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلاحًا
(al-baqarah:228)
Artinya: “……Dan para suami mereka lebih berhak
kembali kepada mereka dalam (masa) menanti itu, jika mereka menghendaki
perbaikan …” (Q.S. al-Baqarah/2:228)
Perceraian ada tiga cara, yaitu :
1.
Talaq bain qubra (talaq tiga)
Laki-laki tidak boleh rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi
dengan bekas istrinya itu, keculi apbila si istri sudah menukah dengan orang
lain, sudah campur, sudah diceraikan, sudah habis pula masa iddah, barulah
suami pertama boleh menikahinya lagi.
2.
Talaq
bain sughra (talaq tebus)
Dalam hal ini suami tidak sah rujuk lagi, tetapi bileh menikah lagi, baik
dalam pada masa iddah maupun sesuadah habis iddah.
3.
Talaq
satu atau talaq dua, dinamakan talaq raj’i
Artinya si suami boleh rujuk kembali kepada istrinya selama
msih dalam masa iddah.
b) Hukum Rujuk
1. Wajib khusus bagi laki-laki yang
mempunyai istri lebih dari satu jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya
disempurnakannya
2. Haram apabila rujuk itu, istri akan
lebih menderita
3. Makruh kalau diteruskan bercerai
akan lebih baik bagi suami istri
4. Jaiz, hukum asal Rujuk
5. Sunah jika rujuk akan membuat lebih
baik dan manfaat bagi suami istri
I. Hukum ruju’ terhadap talak raj’I
Kaum muslimin telah sepakat bahwa
suami mempunyai hak meruju; istrinya selama istrinya itu dalam masa iddah, dan
tidak atau tanpa pertimbangan seorang istri ataupun persetujuan seorang istri.
Sesuai dengan pengertian surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi ”Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu.”
II. Hukum ruju’ terhadap talak ba’in
Talak ba’in kadang-kadang terjadi
dengan bilangan talak kurang dari tiga, dan ini terjadi pada istri yang belum
digauli tanpa diperselisihkan lagi, dan pada istri
yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat didalamnya. Hukum ruju’
setelah talak tersebut sama dengan nikah baru.
Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain
(bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya
saja dalam hal ini selesainya ‘iddah tidak dianggap sebagai syarat.
2.
Rukun
dan Syarat Rujuk
a. Rukun Rujuk
§
Suami
§
Istri
§
Sighat
(ucapan yang menyatakan rujuk)
§
Saksi
b. Syarat Rujuk
§
Suami syaratnya merdeka, atas dasar
kehendakan sendiri bukan karena paksaan.
§
Istri, disyaratkat sebagai berikut:
Ø Dalam
keadaan talak raj’I
Ø Terjadinya
rujuk harus pada waktu istri masih dalam keadaan iddah
Ø Sudah
disetubuhi
Ø Jelas orangnya
§
Sighat syaratnya harus mengucapkan lafal
rujuk.
§
Saksi, syaratnya dua orang saksi yang
adil dan berakal sehat.
3.
Ketentuan
Rujuk
· Rujuk
hanya boleh dilakukan jika membawa kebaikan bagi istri dan anak-anaknya
· Rujuk
hanya dapat dilaksanakan jika pencarian baru terjadi satu atau dua kali
· Rujuk
hanya dilakukan sebelum masa iddahnya habis
4.
Hikmah
Rujuk
• Memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari
kesalahan
• Mengembalikan kecintaan seperti sediakala
• Mengukuhkan kembali keretaka hubungan rumah tangga
D.
KETENTUAN
PERKAWINAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Perundang-Undangan
perkawinan di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdiri dari 14 bab, dan
terbagi dalam 67 pasal, dan Komplikasi Hukum Islam yang disahkan melalui
Instruksi Presidan Indonesia Nomor 1
Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 serta Keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991.
Beberapa
hal yang harus diketahui dari undang-undang dan Komplikasi Hukum Islam
tersebut, sebagai berikut :
1.
Pengertian
Perkawinan
Mengenai pengertian perkawinan
dijelaskan dalam Pasal 1 yang berbunyi :
“Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan
tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”
2.
Sahnya
Perkawinan
Sahnya perkawinan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1),
menegaskan bahwa “
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing
agamanya
dan kepercayaan itu”. Dalam Komplikasi Hukum Islam Bab II disebutkan bahwa:
a.
Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hokum islam, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
b.
Pasal 2, Perkawinan menurut hokum islam
adalah pernikahan, yait akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
menaati perintah Allah dan melaksakannya merupakan ibadah.
Menurut hukum Islam, bahwa laki-laki muslim hanya boleh
menikahi wanita muslimah atau ahli
kitab, sedang wanita muslimah hanya boleh
dinikahi oleh laki-laki muslim saja. Pernikahan antara
laki-laki muslim dan
wanita muslimah adalah sah, san pencatatan nikahnya di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan pencatatan nikah antara muslim dengan nonmuslim atau
antaraagama selain
Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil, bukan di Kantor
Urusan Agama.
3.
Pencatatan
Perkawinan
Kewajiban tentang pencatatan
pernikahan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 –asal 2
ayat(2) menyatakan
bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Adapun yang menjadi tujuan pencatatan perkawinan dijelaskan secara rinci dalam
Komplikasi Hukum Islam Bab II Pasal 5 dan 6, sebagai berikut :
a.
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.
b.
Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan
oleh Pegawai Pencatatan Nikah.
c.
Setiap Perkawinan harus dilangsungkan di
hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah.
d.
Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.
Tujuan
Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal. Untuk
suami istri perlu saling membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan
material.
5.
Peranan
Pengadilan Agama dalam Penerapan Talak Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
dan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Peranan pengadilan Agama menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 29 Ayat (1) dalam penetapan talak
sebagai berikut :
“Perceraian hanya dapat dilakukan
di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Sebagai penjabaran dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 , dalam pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 dinyatakan sebagai berikut:
“Pengadilan hanya memutuskan untuk
mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam
Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti dimaksud Pasal 19
Peraturan Pemerintah (PP) ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami
istri yang bersangkutan tidak mengkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam
rumah tangga.”
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 peran Pengadilan Agama dinyatakan
sebagai berikut.
Pasal 66 ayat (1) :
“Seorang suami yang beragama Islam
yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepapda Pengadilan Agama
untuk mengdakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”
Pasal 70 ayat (1) :
“Pengadilan Agama setelah
berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah
cukup alas an perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa perceraian tersebut
dikabulkan.”
6.
Batasan-batasan
dalam Berpoligami
Undang-undang Nomor 1 TAhun 1974,
tentang Perkawinan menganut system monogami. Hal ini ditegaskan pada Pasal 3
ayat (1) sebagai berikut:
“Bahwa pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Sedang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami. “
Selanjutnya, pada pasal 4
ditegaskan bahwa dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a.
Istri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri.
b.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalammengajukan
permohonan poligami, suami harus memenuhi syarat-syarat seperti yang ditegaskan
pada Pasal 5 berikut:
a. Adanya
persetujuan dari istri-istri.
b. Adanya
kepastian bahwa mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Khusus bagi Pegawai
Negeri Sipil dalam kaitanya dengan masalah poligami ini, maka harus memenuhi
beberapa ketentuan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintahan Republik
Indonesia Nomr 45 Tahun 1990 Pasal 4.