GARA-GARA SEPEDA
BUTUT
Jarum jam
menunjukkan pukul 06.20...
Aku baru
saja selesai mandi. Dengan tergesa-gesa aku menuju kamarku untuk segera memakai
seragam. Aku kalang kabut karena jarum jam terus berjalan. Hari ini upacara
akan dimulai jam 06.45. Artinya, 25 menit lagi upacara akan dimulai. Padahal
jarak rumahku sampai sekolah + 6 km, dan aku butuh waktu 15 menit
untuksampai ke sekolah.
Pukul 06.30
aku sudah siap untuk berangkat. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil
sepeda kesayanganku, sampai-sampai aku hampir lupa berpamitan pada orang tuaku.
“Yuka...
tunggu dulu! Ini bekal untuk di sekolah,” suara ibu menghentikan langkahku.
Akupun menengok ke belakang. Kulihat ibu membawa kotak bekalku yang rupanya
telah terisi penuh oleh masakan ibu.
“Oh iya,
Yuka sampai lupa. Makasih, bu! Yuka berangkat dulu,” jawabku sambil meraih
kotak bekal di tangan ibu.
“Ya sudah,
hati-hati! Jangan ngebut lho...,” ucap ibu.
“Iya.
Assalamu’alaikum,” ucapku seraya mencium tangan ibu.
“Wa’alaikumsalam,”
jawab ibu yang segera berlalu ke dalam rumah.
Aku segera
mengayuh sepedaku dengan lincah. 1 menit, 3 menit... 8 menit sudah aku mengayuh
sepeda ini. Aku baru mencapai setengah perjalanan. Aku terus mengayuh dan
mengayuh lagi. Entah kenapa, sepeda ini rasanya berat sekali. Semakin kukayuh
malah semakin berat saja. Dan aku terkejut karena tiba-tiba sepeda ini tidak
bisa berjalan. Kedua rodanya tak mau berputar. Aku bingung bukan main. Keringat
dingin mulai bercucuran. Tidak biasanya sepedaku seperti ini. Kali ini benar-benar
tidak bisa diajak kompromi.
Sementara
kau mengotak-atik sepeda, jarum jam terus berputar. Pukul 06.40...
Jantungku
berdebar lebih cepat. Aku mulai lemas karena usahaku mengotak-atik sepeda ini
sia-sia. Aku menengok ke kanan dan ke kiri berharap ada bengkel di dekat sini.
Pucuk dicinta ulampun tak kunjung tiba. Sepertinya hari ini aku benar-benar
akan telat. Sama sekali tidak ada bengkel. Akhirnya, aku menitipkan sepedaku di
warung yang tidak jauh dari tempatku membawa sepeda.
Aku mulai
berjalan menuju sekolah. Aku hanya bisa pasrah jika nanti harus dihukum di
depan semua murid. Berdiri di bawah tiang bendera sampai jam pertama berakhir.
Oh, tidak! Aku benar-benar tidak bisa membayangkannya. Menjadi tontonan murid
satu sekolah. Tidak, tidak, tidak... Pikiranku mulai kacau tak karuan.
“Hufft...
Kenapa tidak ada yang lewat ya?! Kalau ada temanku yang lewat kan, aku bisa
nebeng,” desahku masih terus melangkahkan kaki ini.
Kali ini
aku mempercepat langkahku. Setidaknya, aku tidak boleh telat lama-lama. Semakin
cepat, cepat, dan bertambah cepat. Kira-kira sudah 10 menit lamanya aku
berjalan.
Akhirnya
aku sampai di depan gerbang sekolah. Kuhentikan langkahku. Kupandangi
teman-teman dan adik kelasku yang masih berkeliaran di halaman sekolah.
“Apa aku
sedang berhalusinasi?! Kenapa mereka masih berkeliaran begitu?!” pikirku dengan
masih berdiri di depan gerbang. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara yang tak
asing lagi bagiku.
“Yuka...
Lagi lihatin apa sih?” tanya Lea, teman baikku menagetkanku.
“Eh, ee...
enggak. Lea, kok masih pada keliaran
gitu sih? Emang hari ini gak upacara ya?!” tanyaku penasaran.
“Enggak.
Hari ini gak upacara. Emangnya kenapa?” balasnya menatapku heran.
“Oh, gak pa
pa kok,” aku tersenyum lega. Aku pikir hari ini akan menjadi hari buruk bagiku.
Ternyata, keadaan masih berpihak padaku. Hahh, leganya...
“Ya udah,
ayo masuk... Bentar lagi mau bel nih,” ajak Lea yang langsung menarik tanganku.
Akupun
hanya menurut. Sesampainya di kelas, aku meletakkatasku di meja. Fufft... Aku
menghembuskan nafas lega. Hari ini aku bisa mengikuti pelajaran dengan tenang.
Semua beban rasanya lepas. Untung saja, hari ini tidak diadakan upacara. Kalau
tidak, jadilah aku berdiri di bawah tiang bendera. Hhee... Terimakasih Tuhan...
-End-
PERJALANAN SEPASANG MERPATI CANTIK
Hari ini langit begitu cerah. Mentaripun seolah tak mau kalah untuk menerangi dunia. Cahayanya menerobos
masuk melalui celah-celah kecil kamarku. Perlahan mulai menyapa hangat kulit
wajahku. Membuatku harus rela melepas bunga tidurku.
Oya,
perkenalkan, namaku Amanda Nur Rahma, biasa dipanggil Manda. Aku adalah anak
semata wayang. Ayah dan Ibuku merupakan salah satu pengusaha terkenal di
Bandung (Hhe… bukan bermaksud sombong ya…). Aku punya seorang teman bernama
Melati Fi Laila. Kami sudah berteman sejak masuk SMP. Bukan hanya teman atau
sahabat, Ia sudah kuanggap seperti saudaraku.
Melati
itu orangnya gokil, cantik, asyik, baik, pintar lagi… (Eh, tapi aku juga gak
kalah cantik dan pintar kok, hhee…). Sifat kami hampir sama, Cuma aku itu lebih
ceroboh dan grusa-grusu dalam
menghadapi sesuatu. Bahkan sampai SMA-pun, aku selalu merepotkan Melati dengan
kecerobohanku. Saat ini aku dan Melati duduk di bangku SMA, tepatnya SMAN 7
Bandung kelas 2 IPA. Di kelas kami duduk sebangku, kerja kelompok bersama,
kemana-mana berdua, pokoknya kayak sepasang kekasih deh… (Eits, tapi bukan
berarti kami “jeruk makan jeruk” ya… Hhee…).
Sampai suatu ketika, ada murid baru
pindahan dari SMA Pelita Jaya yang masuk di kelas kami, namanya Wanda.
“Manda…
aku pengen ngomong sama kamu,” Melati menepuk bahuku dari belakang.
“Mau
ngomong apa sih, Mel? Biasanya juga langsung bilang,” aku yang sedang membaca
novel menghentikan kegiatanku sejenak.
“Manda,
kamu ngerasa gak sih, ada yang beda dari kita sekarang,” kata-kata Melati mulai
membuatku bingung.
“Uhm…
Maksudnya?!” tanyaku dengan ekspresi bingung.
“Aku
ngerasa, sekarang kamu lebih deket sama Wanda. Bahkan kerja kelompokpun kamu
lebih sering sama Wanda”.
“Mel, kita ini kan sahabat… Jadi sampai kapanpun akan tetap begitu. Kamu percaya kan?” tanyaku dengan
wajah serius.
“Iya, aku percaya…,” senyumnya
mwembuatku sedikit lebih lega.
“Manda… nanti pulang sekolah anterin
aku ke mall ya…,” Wanda menghampiriku
dan Melati.
“Aduh, gimana ya?! Hari ini aku mau
pergi sama Melati. Lain kali aja ya…,” aku yang memeang ada janji dengan Melati
tak ingin membuatnya kecewa.
“Emang mau kemana sih?! Melati kan bisa pergi sendiri.
Iya kan,
Mel?” Wanda terlihat agak sinis pada Melati. Entah apa yang terjadi diantara
mereka, aku tidak begitu mengerti.
“Uhm…
Manda, kalau kamu mau pergi sama Wanda, pergi aja!” Melati mennatapku dengan
tatapan sayu.
“Enggak
lah, Mel… Aku gak mau kamu nanti pergi sendirian”
“Dan
Wanda, aku udah ada janji sama Melati. Kamu ngerti’in kita dong… Atau aku mau
nganterin kamu tapi ajak Melati juga,” aku menatap mereka berdua bergantian.
“Enggak…..,”
Wanda menjawab dengan setengah berteriak.
“Udahlah,
Nda... Kamu pergi aja sama Wanda,” Melati tersenyum dan segera berlalu
meninggalkan aku dan Wanda.
Akhirnya,
mau tak mau aku terpaksa mengantarkan Wanda. Sejak saat itu, Melati sudah
jarang main ke rumah. Kami sudah tak seakrab dulu lagi. Setiap kali kudekati,
Ia selalu menghindar. Kutelfon pun jarang diangkat. Sampai suatu ketika, aku
memberanikan diri berbicara padanya setelah pulang sekolah.
“Melati,
tunggu...,” aku berteriak memanggilnya.
“Ada
apa sih?! Aku mau pulang, kalau pengen ngomong besok aja,” Ia kembali
meneruskan langkahnya.
“Tunggu,
Mel...,” aku menarik tangan Melati.
“Udah
deh... Mau ngomong masalah apa sih?! Aku gak punya waktu buat dengerin hal-hal
yang gak penting,” ucap Melati dengan emosi.
“Kenapa
sikap kamu berubah sih?! Ok fine, aku
minta maaf kalau selama ini aku lebih sering pergi sama Wanda. Tapi bukan
berarti aku gak peduli sama kamu Me...,” aku mulai meneteskan air mata.
“Bukan
aku yang berubah, tapi kamu! Selama ini aku berusaha untuk percaya sama kamu.
Tapi buktinya apa? Kamu udah benar-benar berubah. Kamu lebih nurutin omongannya
Wanda daripada aku!” Melati menangis dan berlari menyeberang jalan. Pikirannya
yang sedang kalut membuatnya tak menyadari jika ada mobil yang melintas dengan
kecepatan penuh.
“Awas,
Mel...,” aku berlari dan mendorongnya ke tepi jalan. Dan...
Braakk...
“Manda...,”
Melati menjerit dan menghambur ke arahku.
Orang-orang
yang ada di sekitarpun mengerumuni tempat kejadian. Aku yang tak sadarkan diri
langsung dilarikan menuju rumah sakit.
Setelah
menjalani operasi kecil, akhirnya akupun sadar. Perlahan aku mencoba membuka
mata. Semuanya putih dan samr-samar. Aku merasa sebuah cairan masuk ke dalam
tubuhku. Beberapa orang di sampingku mulai terlihat jelas. Ternyata aku di
rumah sakit. Ayah, ibu, dan... Melati...
“Alhamdulillah...
Akhirnya kamu sadar manda. Kami semua mencemaskanmu,” Ibu tersenyummelihat aku
sudah sadar.
“Maaf
ya... Manda buat kalian semua cemas,” kataku sedikit terbata-bata.
“Enggak,
Nda... Kamu gak perlu minta maaf. Aku yang harus minta maaf. Ini semua
gara-gara aku, Nda... Maafin aku...,” Melati menggenggam erat tanganku.
“Iya...
Aku juga minta maaf... Harusnya aku bisa ngerti’in perasaan kamu. Sekarang kamu
udah gak marah sama aku, kan?!” tanyaku pada Melati.
“Ya
enggak lah... Dan mulai sekarang, gak ada yang bisa misahin kita lagi. Soalnya,
kita ini...”
“Sepasang
Merpati Cantik yang akan selalu bersama menjelajahi dunia,” ucapku dengan
Melati bersamaan.
“Dan
sahabat tetaplah sahabat... Sampai kapanpun akan tetap begitu,” ucapku
menambahkan.
Kamipun
tertawa bersama. Dinding putih rumah sakit menjadi saksi bisu persahabatan
kami. Cahaya yang menerobos masuk melalui jendela seolah ikut menerangi
indahnya persahabatan kami. Dan berkas cahaya itu akan selalu menerangi langkah
kami. Bukan untuk sementara, tapi selamanya... Bukan sampai disini, tapi sampai
mati...
-End-
Arti Kasih Sayangmu Bagiku
Hai sobat…
Perkenalkan, namaku Mawar Rizqi Imanda. Ibuku adalah pemilik butik ternama
di Bandung dan ayahku juga merupakan salah satu pengusaha terkenal di Bandung.
Aku mempunyai saudara kembar yang bernama Melati Rizqi Amanda. Kami sekarang
duduk di bangku SMA Tunas Bangsa kelas 3. Aku masuk kelas 3 IPS sedangkan
Melati duduk di kelas 3 IPA. Perlu
kalian ketahui sobat, biarpun kami kembar tapi kami punya karakter dan sifat
yang berbeda 180o. Aku yang cenderung tomboy, cerewet, nakal, manja,
kasar, dan pemalas berbeda sekali dengan Melati yang lebih dewasa, baik, sopan,
ramah, rajin, mandiri, dan tentunya cantik dan pintar. (Eh, tapi aku juga gak
kalah cantik dan pintar kok,, hhe). Tapi aku akui, Melati itu lebih pintar
dariku. Makanya Ia bisa masuk kelas IPA. Melati itu orangnya pendiam dan gak
banyak bicara. Dan itu membuat cowok-cowok satu sekolah mati penasaran
karnanya. Sudah banyak cowok yang ngedeketin Melati, tapi setahuku selalu
ditolak dengan alas an pengen fokus sekolah. Padahal cowok yang ngedeketin
Melati tuh gak cuma ganteng n keren
tapi juga juara kelas. Bahkan salah satu cowok paling popular dan udah
berkali-kali mewakili sekolahpun bernasib malang kayak yang lain, alias ditolak
juga. Huft……… bener-bener deh…
Tapi aku sangat
bangga punya saudara kayak Melati. Amat sangat bangga sekali… Hhe,, lebay...
Sampai suatu ketika, ada anak baru
pindahan dari SMU Tunas Mulia Surabaya, namanya Reza. Wajahnya yang ala-ala
Korea itu bikin murid-murid cewek satu sekolah klepek-klepek, termasuk aku. Tapi pengecualian buat si Melati.
Postur tubuh yang tinggi dengan kulitnya yang putih persis kayak orang Korea
itu menambah pesona bagi murid cewek. Wow…
Tapi sayangnya Reza
tidak sau kelas denganku. Ia satu kelas dengan Melati. Awalnya aku sedikit
putus asa karena Reza tidak satu kelas denganku, tapi mulai muncul secercah
harapan di benakku. Aku pikir, Melati bisa membantuku mendekati Reza. Ya… aku
mulai lega akan hal itu.
Awalnya Melati setuju akan rencanaku
dan bersedia membantuku. Akupun sering pergi jalan dengan Reza atas bantuan
Melati. Ia juga mendukungku. Tapi lama-kelamaan aku merasa Reza lebih dekat
dengan Melati daripada aku. Walaupun selama ini Melati tidak pernah tertarik
dengan urusan cowok, tapi aku mulai merasa takut jika Melati juga menyukai
Reza. Karena sepertinya Melati lebih terbuka jika dengan Reza. Bahkan Ia sempat
berkata padaku,
“Mawar, ternyata Reza itu beda ya…,”
tiba-tiba Melati mengatakan hal yang tak pernah kuduga sebelumnya. Tapi aku
berusaha menanggapinya dengan sewajarnya.
“Iya… Tapi kenapa tiba-tiba kamu
ngomong gitu sih? Bukannya selama ini kamu paling ogah sama urusan cowok ya?!”tanyaku menyelidik.
“Uhm,,, emangnya aku salah ya, kalau
aku juga pengen punya temen cowok. Selama ini kan, aku selalu menutup diri”.
“Gak salah sih… Cuma
aneh aja. Tapi ya udah lah, gak usah dipikirin. Aku ngantuk nih, tidur duluan
ya…,”ucapku seraya membalikkan tubuhku memunggungi melati.
“Hm…”.
Setelah
itu percakapan berakhir. Aku sempat melihat Melati tersenyum sendiri membayangkan
sesuatu yang entah apa itu. Aku berpikir positif saja. Aku rasa hal itu
wajar-wajar saja bagi remaja SMA. Tapi semakin lama, aku melihat Melati sering
jalan berdua dengan Reza. Mereka juga kelihatan enjoy satu sama lain. Aku mulai merasa iri dengan Melati. Tapi aku
selalu mencoba menghilangkan rasa iri itu. Karena bagaimanapun juga Melati
adalah saudaraku. Tidak mungkin Ia tega menyakitiku, terlebih dia tahu kalau
aku menyukai Reza. Dan puncaknya adalah pada malam itu…
“Melati,
aku pengen ngomong jujur sama kamu,”ucap Reza tampak serius.
“Mau
ngomong apa, Za? Serius banget…,” tanya Melati dengan senyum khasnya itu.
Perlahan Reza memegang tangan Melati,,,
“Mel, sebenarnya aku sudah lama suka
sama kamu. Aku pengen hubungan kita lebih dari sekedar teman atau sahabat.”
Deg...
Aku yang saat itu sedang mencari
udara segardi luar tidak sengaja mendengar percakapan itu. Aku tertegun...
Kakiku serasa lemas dan sulit digerakkan. Air mataku jatuh tak terbendung.
Namun, aku berusaha tenang karena Melati belum memberikan jawaban.
“Kamu bercanda kan, Za? Aku tau
Mawar itu suka sama kamu... Mana mungkin aku bisa melakukan itu?!” Melati mulai
terisak menahan tangis.
“Aku tau Mel... Tapi kamu gak bisa
paksa aku buat suka sama Mawar. Aku yakin Mawar bisa dapetin yang lebih dari
aku. Aku juga yakin dia gak akan marah kalau kamu terima aku,” kata-kata Reza
mulai membuatku teriris. Orang yang kusukai ternyata menyukai saudaraku
sendiri.
“Tapi, gimana kalau Mawar marah dan
jadi benci sama aku?! Aku sayang sama dia. Aku gak mau buat dia sedih. Mawar
sangat berarti buat aku, Za...,” ucap Melati semakin terisak.
Reza langsung memeluk Melati. Aku
yang saat itu sedang terpukul dan gundah tidak begitu mendengar kalimat
terakhir yang diucapkan Melati. Perasaanku yang bercampur-aduk ini membawaku
melangkah mendekati mereka.
Aku yang terbawa emosi langsung
menarik Melati dari Reza hingga membuatnya terjatuh. Melati yang menyadari
keadaanku saat itu tersentak kaget.
“Mawar?! Kenapa kamu dorong aku?
Kamu harus denger penjelasan aku dulu...,” Melati mencoba bangkit untuk
berdiri.
“Penjelasan apa lagi, Mel?! Kamu tau
kan kalau aku suka sama Reza! Kenapa kamu lakuin ini ke aku?! Diam-diam kamu
juga suka kan sama Reza?!” emosiku meledak-ledak.
“Enggak Mawar... Kamu denger dulu...”
“Halah... Harusnya kamu bilang dari
dulu, Mel. Jadi aku gak akan ngerasain sakit ini,” aku mmotong ucapan Melati.
Setelah aku berdebat hebat dengan
Melati, aku berlari tanpa menyadari ada mobil yang sedang melaju dengan
kecepatan penuh, dan...
Braakkk....
“Melatiii......,” suara Reza
terngiang di telingaku.
Aku baru sadar jika Melati
mendorongku ke pinggir jalan sehingga Ialah yang tertabrak mobil itu. Tubuhku
gemetaran... Aku berusaha mendekat ke arah Melati.
Dengan terbata-bata, Melati sempat berkata
sesuatu padaku,
“Mawar,, maafin aku ya... Aku gak
bermaksud menyakiti kamu...,” aku menangis sambil memegang tangan Melati.
“Iya Mawar,, sebenarnya tadi Melati
nolak aku dan itu demi kamu...,” Reza juga ikut menjelaskan dengan suara parau.
“Jadi... kalian gak jadian?” tanyaku
kaget.
“Enggak Mawar...,” kata Melati
terbata-bata.
Setelah semuanya jelas, aku sangat
menyesal telah menuduh Melati yang bukan-bukan. Aku menangis sejadi-jadinya dan
minta maaf padanya. Tak lama kemudian ayah dan ibu datang bersamaan dengan
ambulance. Pada saat yang bersamaan Melati mengucapkan kata-kat terakhirnya,
“Ayah, ibu, Mawar, Reza... Makasih
buat semuanya ya... Kalian sangat berarti di hidupku...”
Melati menghembuskan nafas
terakhirnya. Walaupun berat, kami semua berusaha mengikhlaskan kepergian
Melati.
“Melati... Biarpun raga kita jauh,
tapi hati kita tetap satu... Aku janji akan menjadi orang yang lebih baik dari
ini. Kami disini menyayangi Melati... Selamat jalan... Semoga kau tenang dan
bahagia disana...”.
Itulah kata-kata terakhir yang
sempat kuucapkan. Sejak saat itu, aku mulai mengerti dan menyadari bahwa Melati
sangat menyayangiku. Kasih sayangnya begitu besar untukku. Seorang saudara yang
mengasihiku lebih dari apapun. Saudara yang akan selalu kukenang sampai akhir
hayatku. Dan karnanya, aku bisa menjadi orang yang lebih baik dan mengerti akan
arti kasih seorang saudara itu... Thanks
Mel...
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar